Saturday 1 October 2011

Pencegahan Tawuran yang Tak Banyak Dilakukan


JAKARTA, KOMPAS.com - Pesan pendek yang terbaca di telepon genggam, Jumat (30/9) malam pukul 19.04, mengejutkan tetapi juga mengundang geram. ”Tawuran di Bulungan. Satu orang katanya terluka,” demikian isi pesan singkat itu.
Terkejut karena kehebohan bentrokan antara wartawan dan murid salah satu SMA di kawasan Bulungan, Senin (19/9) lalu, belum lama reda. Geram karena tawuran pelajar di lokasi yang sama lagi-lagi terjadi.
Pakar pendidikan yang masih aktif mengajar, Arief Rachman, Sabtu (1/10), mengatakan, pelaku tawuran biasanya itu-itu saja alias mudah diidentifikasi.
”Pelaku tawuran hanya sebagian kecil dari jumlah siswa dalam satu kelas, satu angkatan, bahkan satu sekolahan. Seharusnya mudah diidentifikasi dan diambil tindakan secepatnya bagi yang bersangkutan,” kata Arief.
Identifikasi murid-murid yang sering mengganggu aktivitas belajar mengajar bisa dilakukan sejak dini. Dari pengamatan sehari-hari, guru bisa menandai murid-murid mana sajakah yang cenderung memicu onar. Guru bisa meminta membicarakan masalah tersebut dengan orang tua murid dan bersama-sama membahas jalan keluar terbaik. Berkonsultasi ke psikolog, misalnya, bisa juga menjadi pilihan.
Secara umum, agar tawuran tidak terus terulang, ada empat pihak atau lembaga yang harus bersama-sama melakukan empat hal. Keempat pihak tersebut yaitu orang tua atau rumah tangga keluarga terdekat si siswa, sekolah, masyarakat, dan pemerintah. Keempat pihak itu bisa melakukan advokasi pencegahan tawuran terulang melalui komunikasi, edukasi, alternatif kegiatan, atau penegakan aturan, represif.
”Komunikasi dua arah antara orang tua dan anak, guru dan siswa. Terapkan mendidik sesuai kaidah asalnya yaitu mengajari anak berbudi pekerti baik dan menyerap ilmu pengetahuan untuk diterapkan dalam kehidupan nyata. Bukan meraih nilai tinggi, gelar, atau masuk sekolah ternama dengan segala cara,” lanjutnya.
Di era modern ini banyak kegiatan bisa diikuti siswa. Beragam sekolah dan jurusan pendidikan tersedia untuk menyalurkan bakat dan minat. Kalau balet dianggap kegiatan berkelas, tidak harus semua anak perempuan dipaksa orangtuanya belajar balet. Jika minatnya memang soal masak-memasak, mengapa tidak didukung masuk sekolah kejuruan sesuai bidangnya.
Ariest Merdeka Sirait dari Komisi Nasional Perlindungan Anak mengatakan, orang tua seharusnya memahami sifat, kelebihan, dan kekurangan anak sejak masih kanak-kanak.
”Ketika sudah dibiasakan berkomunikasi dengan baik, setiap kali ada kesalahan, si ibu atau bapak dan guru bisa menegurnya dengan bahasa yang baik. Orang tua harus menerima anak apa adanya dan mendukung si anak maju dengan kemampuan yang dimilikinya,” kata Ariest.
Di sisi lain, setiap kali anak berbuat kesalahan, apalagi disengaja, sanksi harus diterapkan. Arief yang telah berpuluh tahun mengajar di berbagai sekolah mengatakan, ia pernah menegur siswanya yang bermasalah.
”Saya tegur dia. Kemudian, saya coba pisahkan dia dari teman lain dan mengajaknya berbicara. Kalau ada kesalahan, tetap harus diberi sanksi,” tegasnya.
Jika saja orang tua dan guru mau menerapkan solusi mudah ala Arief dan Ariest, sistem pendidikan di negeri ini yang cenderung seperti mengelola bisnis, bisa dikikis habis.
Namun, entah mengapa, banyak orang tua dan guru pun sepertinya abai. Anak seakan dibiarkan tersesat dan menjadi korban keabaian itu. (NELI TRIANA)

Source

0 comments:

Post a Comment

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More
KEMDIKBUD DINAS PENDIDIKAN PROVINSI JAWA TENGAH LPMP JAWA TENGAH Jardiknas